Dapatkah AI Menghadirkan Keadilan yang Lebih Dekat?

Ditulis oleh: Dr. Bakhrul Amal, SH., MKn

Dosen pada Fakultas Syariah di UIN Raden Mas Said Surakarta

Di suatu kampung di luar Nusa Tenggara Timur, sang ibu gagal mempertahankan lahan peninggalan keluarganya karena dia tak paham bagaimana menangani dokumen hak miliknya.

Di Jakarta, seorang pekerja harian dipecat secara paksa tanpa mendapatkan hak penggantian. Dia tak hanya menyerah, tapi dia juga tidak menyadari bahwa apa yang dialaminya tersebut ilegal.

Di dalam persidangan, sang tersangka hanya diam dan menyetujui tiap pernyataan dari penuntut umum. Ia melakukannya bukannya untuk mengaku bersalah, namun dia benar-benar tak memahami tuduhan yang disampaikan.

Cerita-cerita semacam itu sering kali kita dengar. Cerita-cerita tersebut tidaklah jarang di peta peradaban hukum di Indonesia.

Undang-undang, menurut pandangan banyak orang, masih tampak seolah-olah sebagai istana yang sulit dijangkau. Kehadirannya terlalu menjulang, kompleks, dan berjarak sangat jauh dari mereka yang sebenarnya paling memerlukan perlindungannya.

Phenomenon ini sesungguhnya tidak hanya berlangsung di Indonesia.

Di Amerika Serikat, sesuai dengan laporan dari Legal Services Corporation pada tahun 2022 (Justice Gap Report), sebanyak 86% kasus hukum perdata yang dihadapi oleh warga berpendapatan rendah tidak mendapatkan penanganan yang cukup layak.

Di Indonesia, data mungkin belum seorganisasi atau sestruktural itu namun efeknya sudah cukup dirasakan.

Sebagai contoh, terdapat batasannya bantuan hukum, tarif pengacara yang mahal, serta minimnya pemahaman hukum di kalangan publik.

Noah Wong, yang merupakan seorang ahli di bidang hukum dan teknologi, mengatakan bahwa penyebab utama permasalahan itu tidak hanya disebabkan oleh kekurangan rasa simpati dari kalangan profesional hukum.

Akan tetapi, hal ini terjadi lebih disebabkan oleh keterbatasan sumber daya. Pada presentasinya, Wong mengusulkan dua solusi.

Pertama kali ini berfokus pada peningkatan jumlah praktisi serta membantu pihak hukum (hal yang cukup challenging untuk direalisasikan dengan cepat).

Kedua, meningkatkan kemampuan aparat penegakan hukum melalui penerapan teknologi, terutama dengan dukungan dari kecerdasan buatan (AI).

AI Sebagai Alat Bantu

AI sampai saat ini belum atau mungkin tak akan mengambil alih tugas pengacara.

Noah Wong menyatakan bahwa AI masih belum bisa menangkap makna sebenarnya dari latar belakang budaya, detil-detil emosional, atau bahkan membentuk ikatan kepercayaan dengan para kliennya.

Meskipun demikian, kita tidak dapat mengabaikan bahwa sebenarnya AI mampu membantu mengecilkan kesenjangan dalam akses terhadap keadilan yang telah ada.

Sebagai contoh, hal ini bisa kita perhatikan di Los Angeles, tempat LA County mengenalkan program bernama "Lawdroid" dan "JusticeBot".

Dua bot obrolan hukum berbasis kecerdasan buatan yang sedang dikembangkan adalah hasil kerjasama antara UCLA dan Stanford CodeX.

Aplikasi obrolan ini menyediakan respons untuk pertanyaan-pertanyaan mendasar terkait hukum perdata yang mencakup aspek-aspek seperti hak milik tanah, cerai, serta kekerasan di lingkungan keluarga.

India juga menciptakan asisten virtual berbasis kecerdasan buatan yang diterapkan pada program Klinik Bantuan Hukum Penjara.

Penggunaan AI ini dinilai sebagai terobosan solusi yang membantu narapidana buta huruf atau tidak paham hukum untuk memahami status kasus mereka.

Projek ini mendapat dukungan dari NITI Aayog dan dianggap menjadi contoh baik untuk inklusivitas hukum digital yang seharusnya ditiru oleh negara-negara sedang berkembang lainnya.

Waktunya Indonesia Bisa Maju Lebih Dalam

Dengan wilayah yang luas, kesenjangan digital yang signifikan, serta tingkat pemahaman hukum yang masih rendah, Indonesia seharusnya dapat meraih manfaat besar apabila bisa mengoptimalkan teknologi AI dalam bidang keadilan.

Bayangkan apabila warga di wilayah pedalaman dapat memperoleh pengetahuan tentang hukum melalui suatu aplikasi yang menggunakan bahasa setempat.

Atau mereka dapat membentuk surat teguran, tuntutan, serta pengajuan menggunakan perangkat lunak berbantu kecerdasan buatan yang disertai fitur suara atau alat terjemahan dari bahasa komunitas ke bahasa hukum.

Dengan dukungan dari teknologi kecerdasan buatan (AI), mahasiswa hukum pun dapat melaksanakan penelitian serta analisis putusan dalam kurun waktu singkat, sehingga memungkinkan mereka mengoptimalkan waktunya untuk membantu masyarakat.

Meskipun demikian, kita harus mengakui bahwa AI memiliki berbagai tantangan. Masalah seputar privasi, algoritme yang digunakan, kurangnya infrastruktur digital, dan ancaman terhadap penyalahgunaan informasi masih menjadi hal yang perlu diperhatikan. Akan tetapi, meski ada risiko tersebut, itu bukanlah alasan bagi kita untuk mundur atau tidak melanjutkannya.

Justru di tempat inilah pendekatan hukum adaptif mendapatkan relevansinya: undang-undang perlu dapat beradaptasi dengan jaman, menyelaraskan diri dengan perkembangan teknologi, tanpa meninggalkan aspek kemanusiawiannya.

Penutup

Sejauh ini, pembicaraan tentang infrastruktur hanya berfokus pada jalanan, jembatan, atau kelistrikan. Namun, hak untuk mendapatkan keadilan pun merupakan salah satu bentuk dari infrastruktur tersebut.

Infrastruktur yang malah menetapkan apakah rakyat dapat sungguh-sungguh menjalani kehidupan sebagai subjek hukum, atau hanya menjadi obyek dalam sistem yang kompleks dan tertutup.

AI tidak akan memecahkan seluruh persoalan hukum. Namun, bila dipakai secara tepat, terbuka, dan adil, teknologi ini dapat mendukung penanganan kebanyakan perkara hukum.

Penggunaan kecerdasan buatan (AI) pun tidak bertujuan untuk mengambil alih peran pengacara atau petugas penegak hukum, melainkan untuk membawa hukum kepada setiap lapisan masyarakat, tanpa memandang siapa saja yang sebelumnya telah diabaikan. (*)

Belum ada Komentar untuk "Dapatkah AI Menghadirkan Keadilan yang Lebih Dekat?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel